Tavadhravyam Jagat Guru Tubhyam Eva Samarpaye

All are in HIM.. All are HIM.. All 4 HIM.. Semua adalah kepunyaan NYA dan akan kembali kepada NYA

Wednesday, September 13, 2006

Sloka BABA

Dharma Shastra

Slokha: 1
Sa tu bhavati daridra yasya a'sha' visha'la',
manasi ca paritus't'e ko'rthava'n ko daridrah

Dia adalah orang yang miskin, yang keinginannya tidak terbatas, tetapi bagi mereka yang memiliki kepuasan dalam hatinya, bagi mereka itu tidak ada miskin maupun kaya!

Slokha ini memberikan pesan kepada kita bahwa kita harus mengendalikan keinginan yang muncul dalam pikiran. Tidak dapat dipungkiri, setiap insan ingin mendapatkan kebahagiaan. Dan kebahagiaan yang diinginkannya adalah kebahagiaan yang tak terbatas. Artinya mereka ingin berada dalam kebahagiaan terus menerus. Tidak ada seorangpun yang ingin menderita atau kehilangan kebahagiaan yang dimilikinya. Semua ingin mendapatkan kebahagiaan. Sekarang dimanakah kebahagiaan itu bisa didapatkan? Manusia memiliki pikiran, dan dengan pikiran yang dilengkapi indriya, mereka mencari kebahagiaan. Indriya selalu membutuhkan obyek dari luar. Mata ingin melihat rupa yang menyenangkan, telinga ingin mendengar suara yang menyenangkan, hidung ingin mencium bau yang menyenangkan, dst. Dalam tahap ini, pikiran mendapatkan ‘kebahagiaan’ dari persepsi obyek tertentu melalui indriya. Dan karena obyek yang memancarkan tan matra pada proses persepsi melalui indriya ini terbatas, maka kebahagiaan yang didapatkan oleh pikiran pun terbatas. Apapun kebahagiaan yang kita dapatkan dari obyek indriya pasti bersifat relatif terhadap waktu, ruang dan pribadi.

Sedangkan pikiran menginginkan kebahagiaan yang terus menerus – tanpa batas. Terjadilah kesenjangan dalam usaha mencapai kebahagiaan itu. Sebagai akibatnya ketika pikiran mendapatkan kebahagiaan dari suatu obyek, mengetahui keterbatasan kebahagiaan yang akan didapatkannya, dia menginginkan untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya obyek tersebut. Namun tetap saja, jumlah obyek itu terbatas adanya. Inilah yang menyebabkan manusia itu cenderung menjadi rakus dan serakah. Dan semakin keinginan itu diikuti semakin besar pula nafsu yang ditimbulkannya untuk mendapatkan lebih banyak lagi. Namun jumlah obyek yang ada didunia ini tetap saja terbatas. Akhirnya pikiranpun mengalami kekecewaan. Dari keinginan mencapai kebahagiaan, akhirnya hanya mendapatkan kekecewaan, karena kebahagiaan yang dicari tidak pada tempat yang semestinya.

Namun dari analisa lain yang bersifat introvertif, pencapaian kebahagiaan itu berbeda dengan pendekatan yang dijelaskan di atas. Pikiranlah, yang menentukan sesorang bahagia atau tidak. Sedangkan indriya dan obyeknya hanya merupakan tipuan yang membuat orang terkecoh oleh bayangan semu kebahagiaan yang sejati. Berfungsinya indriyapun tergantung pada pikiran. Misalnya kalau kita melihat sesuatu, namun pada saat itu pikiran kita sedang sibuk memikirkan hal yang lain. Pada saat demikian walaupun yang dilihat adalah benda yang sangat indah dan paling disukai, pikiran tidak mendapatkan kebahagiaan darinya. Bahkan sebaliknya, sesuatu yang paling disukaipun kadang menimbulkan rasa tidak bahagia pada saat melihatnya, karena pikiran pada saat itu sedang terganggu oleh sesuatu hal lainnya. Disinilah bisa kita lihat bahwa keinginan pada suatu obyek untuk mendapatkan kebahagiaan adalah tipuan dari indriya yang menghambat untuk mencapai kebahagiaan sejati. Bahagia atau tidaknya pikiran, pikiranlah yang menentukan.

Dalam slokha di atas dijelaskan, dengan membiarkan keinginan itu tidak terbatas, artinya mengikuti nafsu dari tipuan indriya, akan membuat orang semakin miskin, karena semakin banyak keinginan, semakin banyak pula kekurangan yang ditimbulkannya. Dan semakin jauh pula kebahagiaan itu dari dirinya. Dan selanjutnya dikatakan, bagi yang memiliki rasa puas dalam hatinya dan mengendalikan keinginannya terhadap benda benda pemuas indriya, bagi mereka tidak ada kaya maupun miskin. Merekalah orang bahagia. Kaya dan miskin adalah ciptaan pikiran itu sendiri. Kalau kita kekurangan, namanya miskin, kalau berlebihan namanya kaya. Kalau pikiran itu tidak memiliki keinginan, maka tidak lebih maupun tidak kekurangan. Tidak kaya tidak miskin, ini yang disebut Santosa. Bagi yang memiliki santosa, kedamaian hati selalu bersamanya. Dan untuk mencapai santosa orang harus menjalani disiplin aparigraha.


Slokha: 2
Mana eva manus'ya'na'm' ka'ran'am' bandhamoks'ayoh;
Bandhastu vis'aya'saungi mukto nirvis'ayam' tatha'.

Pikiranlah yang menjadi penyebab kebebasan atau keterikatan pada manusia, manusia berada dalam belenggu apabila pikirannya terikat oleh obyek keinginan dan orang mencapai mukti apabila pikirannya bebas dari segala keinginan.

Dalam slokha ini vis’aya berarti keterikatan pada obyek indriya. Nirvis’aya berarti bebas dari pengaruh vis’aya.

Pikiran manusia bisa berfungsi karena memiliki tubuh. Disini tubuh berarti indriya. Baik karmendriya (tangan, kaki, kemaluan, anus dan alat suara) maupun jinanendriya (mata, hidung, telinga, peraba, lidah). Kesepuluh indriya inilah yang membuat pikiran itu dapat berfungsi. Tanpa adanya kesepuluh indriya ini maka pikiran disebut ‘videhi mana’. Ketika orang meninggal pikirannya disebut ‘videhi mana’ dan ‘videhi mana’ ini tidak dapat berbuat, pun tidak dapat menikmati ‘suka maupun duka’ akibat perbuatannya semasih hidup.

Dalam slokha ini disebutkan, apabila pikiran itu terikat pada obyek indriyanya (vis’aya saungi), ini disebut ‘bandha’ atau berada dalam belenggu, sedangkan apabila pikiran yang sama bebas dari pengaruh ‘vis’aya’(nir-vis’aya’) maka disebut mencapai mukti. Jadi mukti bukanlah suatu hal yang jauh dari pikiran kita.

Sebagaimana disebutkan oleh Tulsi Das,

“Seperti kendi di dalam air, air di dalam kendi dan diluar kendi. Tidak ada perbedaan, semuanya air. Dindng kendi itulah yang menyebabkan perbedaan. Ketika kendi pecah, perbedaan itupun tiada. Hanya orang bijaksana bisa mengerti hal ini”

Hal yang sama dijelaskan dalam Avadhuta Giita – Dattaeya:

Slokha: I-31
ghat’e bhinne ghat’a’ka’sham suli’nam bhedavarjitam
shivena manasa’ shuddho na bhedah pratibhati me

Seperti ruang di dalam kendi tiada bedanya dengan
ruang di luar kendi ketika kendi itu dipecahkan,
demikian pula aku melihat ketika pikiran itu menjadi
murni tiada berbeda dengan Shiva.

Komentar:
Di dalam tantra juga disebutkan perbedaan antara jiiva dengan shiva,’pasha badha bhavet jiivah pashamukto bhavet shiva’ yang artinya, jiiva dan shiva secara esensi tidak berbeda. Entitas yang sama disebut jiiva apabila terbelenggu oleh pasha, keterikatan pikiran, dan entitas itu pula disebut shiva apabila dia bebas dari belenggu pasha. Dalam slokha diatas, pasha itu ibarat kendi. Ketika dinding kendi menyelubunginya, ruangan di dalam kendi menjadi terpisah. Ruangan di dalam dan diluar kendi tidak pernah mengalami perubahan. Ruangan tersebut tetap sama! Demikian pula jiiva tidak pernah berubah. Yang mengalami transformasi pembebasan adalah belenggu pengikat astha pasha dan sad ripu.

Slokha:32
na ghat’o na ghat’a’ka’sho na jiivo na jiivavigrahah
kevalam brahma samviddhi vedyavedakavarjitam

Sebenarnya tiada ruang di dalam kendi maupun ruang di luar kendi, tiada jiiva maupun jiiva universal, ketahuilah dengan pasti yang ada hanya SATU Brahman melampaui hubungan mengetahui dan yang diketahui.

Ketika gabungan pikiran dengan indriya diarahkan kepada obyek kesenangan, ini akan membawa keterikatan. Ketika gabungan pikiran dan indriya diarahkan untuk mencapai pengetahuan, maka pikiran akan mampu mengatasi godaan keinginannya. Semua berlangsung secara timbal balik.

Oleh karena itu, bagi pengikut spiritual yang tekun dan bersungguh sungguh ingin mencapai kebebasan, maka mengendalikan indriya adalah disiplin yang harus dijaga dan diikuti dengan sungguh-sungguh. Jangan membiarkan pikiran itu terseret oleh keinginan indriya. Sebaliknya arahkan indriya itu agar membawa pikiran ke arah pengetahuan sejati. Dengan melalui alat indriya inilah pikiran itu dapat belajar dan menempuh jalan spiritual. Dengan bantuan indriya mata kita dapat membaca, bacalah buku-buku yang menuntun ke arah spiritual, dengan indriya telinga kita dapat mendengar, dengarkanlah percakapan yang menuntun kita ke arah spiritual dan seterusnya. Disiplin mengendalikan indriya ini disebut ‘indriyanigraha’.

Slokha: 3
A'tma'nam' rathinam' viddhi shariiram' rathameva tu;
Buddhintu sa'rathim' viddhi manah pragrahameva ca.

Ketahuilah perumpamaan berikut, atman sebagai penumpangnya, tubuh ini sebagai keretanya, buddhi atau intelek sebagai kusir yang mengendalikan kereta dan ketahuilah pikiran sebagai tali kendalinya.

Dalam perumpamaan sebuah kereta, terdapat penumpang, kereta, kusir, tali kekang kuda dan kudanya. Disini kesepuluh indriya berperan sebagai kudanya. Atman sebagai kesadaran unit dalam setiap pribadi seperti halnya penumpang di dalam kereta tidak berbuat apa-apa. Dia bebas dari pengaruh segala kegiatan. Dia hanya duduk dan ingin mencapai tujuannya. Bagaimana agar dia bisa sampai pada tujuannya? Kereta yang ditumpanginya haruslah berada dalam keadaan yang baik. Tubuh (shariira) inipun harus dijaga, karena tubuh ini adalah tempat duduknya atman dalam perjalanannya. Kenyataannya untuk melakukan praktek sadhana kita memerlukan tubuh manusia. Dikatakan dalam Tantra, persyaratan untuk melakukan sadhana adalah unit jiiva harus memiliki tubuh fisik sebagai manusia. Setaleh tubuh ini dijaga, maka buddhi atau intelek kita pun harus dilatih dan dibina agar mampu mengendalikan pikiran. Buddhi dengan viveka, kemampuan untuk membedakan yang baik dan buruk, memilih yang benar dan salah, sangat memegang peranan agar dalam perjalanan menuju Paramatman, kita tidak tertipu atau tersesat. Bagaimana menjaga pikiran itu agar tidak tertipu oleh dogma, kepercayaan yang kosong, atau filsafat spiritual yang menyesatkan. Dan kemudian pikiran inipun harus dibuat cukup kuat untuk mengendalikan kudanya. Disini berarti indriya. Kuda yang liar dan tenaganya sangat besar harus diarahkan agar menapak jalan yang benar. Apabila kudanya dibiarkan bergerak kemana saja akan berbahaya. Karena itu pikiran harus mampu mengendalikan dan mengarahkan kuda-indriya-nya. Siapa yang memegang pikiran? Buddhi atau viveka.

Sering kita berada dalam suatu keadaan dimana pikiran kita terasa tarik menarik. Misalnya kita ingin berbuat yang tidak baik, karena pengaruh nafsu atau keinginan dari indriya kita ingin berbuat sesuatu, tetapi disisi lain, ada kata hati lain, yang lebih halus melarang. Disini terjadi tarik menarik. Perasaan halus yang melarang dari keinginan yang tidak baik itulah ‘viveka’. Viveka selalu mengingatkan kita untuk menempuh jalan yang benar. Orang melakukan perbuatan tidak baik, karena mereka mengabaikan viveka-nya sehingga viveka-nya semakin lemah dan pikirannya semakin liar terseret indriya. Tetapi orang yang melakukan sadhana teratur secara benar, viveka-nya sangat kuat. Akibatnya, dalam pikirannya mungkin timbul keinginan yang tidak baik, namun tidak pernah dilakukannya. Dengan sadhana yang semakin dalam, keinginan yang tidak baikpun dapat dihilangkan dari pikiran.

Apabila keempat factor ini terjaga dengan baik, kereta, kusir, tali kekang kuda dan kudanya bergerak dalam harmoni, maka penumpangnya akan tiba dengan selamat pada tujuannya.

Apabila buddhi, pikiran, tubuh dan indriya ini semuanya dijaga dan bergerak secara harmoni dan seimbang dalam disiplin sadhana, maka kita akan mencapai kemajuan spiritual.



Slokha: 4
Ekam' jina'nam' nityama'dyantashu'nyam'
Na'nyat kim'cit varttate vastusatyam;
Tayorabhedo'smin indriyopa'dhina' vae
Jina'nasya'yam' bha'sate na'nyathaeva.

Hanya ada satu pengetahuan yang kekal, tanpa awal dan akhir, tidak ada kebenaran selain dari pada itu, ketika aktivitas pengindraan tersuspensi dan perbedaan dunia ekternal dan internal keduanya menjadi satu, pada saat itu hanya tertinggal satu keberadaan kekal tanpa yang lainnya.

Apapun yang kita persepsi dari dunia luar adalah hasil dari aktivitas indriya. Manusia memiliki lima indriya, penciuman, perasa, penglihatan, peraba dan pendengar masing masing dengan alat inriya hidung, lidah, mata, kulit dan telinga. Pada tahap awal manusia mengenal dunia adalah melaui pengindraannya. Sehingga pengetahuan yang mereka miliki juga terbatas dalam jangkauan pengindraan. Apa yang dianggap sebagai kenyataan yang benar ada adalah apa yang dapat dirasakan oleh pengindraan. Alat indriya manusia itu sendiri memiliki kemampuan yang sangat terbatas. Pendengarna manusia hanya mampu menerima gelombang suara pada frekwensi tertentu, penglihatan manusia juga hanya mampu berfungsi pada intensitas cahaya tertentu, dst. Dengan mengandalkan pengindraan maka hanya sedikit saja yang dapat diketahui. Lagi pula, apa yang diterima oleh indriya adalah tan matra dari kelim ausur dasar (panca maha bhuta) yang terdiri dari zat padat, cair, cahaya, udara dan ether, yang maing masing memancarkan gandha tan matra (bau), rasa tan matra, rupa tan matra, sparsha tan matra (sentuhan) dan shabda tan matra. Dapat dilihat bahwa ketrbatasan pengetahuan yang diperoleh bukan saja dari keterbatasan indriya namun juga keterbatasan obyek materi yang bersifat tan matrika. Pengindraan manusia merupakan suatu system yang terdiri dari, pintu, saraf dan jaringan halus ke otak dan titik pengindraan di dalam otak. Selanjutnya pikiran sebagai kesadaran memberikan kesaksian terhadap semua proses itu. Apabila ada cacat dalam system tersebut, maka proses ‘menegtahui’ pun mengalami ketidak sempurnaan. Dan tan matra yang dipancarkan oleh setiap benda yang merupakan vibrasi halus, berubah frekwensi dan getarannya. Sehingga pengetahuan demikain bersifat sangat relatif.

Bagaimanakah orang bisa menemukan pengetahuan yang sejati? Dikatakan dalam slokha diatas, apabila, upadhi (kemampuan indriya untuk beraktivitas) dan indriya larut dalam kesatuan, pada saat itu perbedaan antara dunia ekternal dan internal menjadi tiada dan hanya terdapat pengetahuan yang kekal. Dengan menyadari bahwa semua yang kita lihat,dengar dsb, hanyalah merupakan permainan tan matra. Dan tan matra ini adalah manifestasi dari kesadaran Tunggal. Dan menyadari indriya kita hanya menikmati ‘tan matra’ dari obyek yag kita lihat, dengar dsb. Artinya kita tidak pernah dapat menikmati sesuatu bendapun dalam bentuk nyata. Yang kita nikmati hanyalah tan matra yang dipancarkannya. Misalnya kita melihat sebuah lukisan. Sebenarnya yang kita lihat bukanlah lukisan itu. Namun hanya gelombang cahaya yang dipancarkan oleh lukisan tersebut, dan mata kita menerima gelombang tersebut. Sebenarnya kita tidak pernah menikmati apapun dalam kenyataannya. Dan jga apa yang kita rasakan sebagai ‘melihat, mendengar, dsb’ adalah hasil ciptaan pikiran kita sendiri. Ketika melihat sesuatu, pikiran menciptakan bayangan semu dalam dirinya, dan kita melihat bayangan ciptaan pikiran kita sendiri. Dikatakan ketika kedua hal ini berpadu menjadi satu, maka perbedaan dunia ekternal dan internal itu tiada lagi, dan yang tertinggal adalah pengetahuan yang kekal.

Pengetahuan ini, dikatakan, bersifat nitya, tidak terpengaruhi oleh ketiga factor relative, waktu,empat dan pribadi. Konsekwensinya, tanpa aal dan akhir, karena tidak terikat waktu. Dan hanya inilah keberadaan satu satunya yang benar benar ADA, tidak ada keberadaan lainnya.

Slokha 5:

A'tmajina'nam' vidurjina'nam jina'na'nyanya'ni ya'ni tu.
Ta'ni jina'na'vabha'sa'ni sa'rasya naeva bodhana't

Atmajinana adalah pengetahuan yang sejati, semua pengetahuan yang lainnya itu adalah bukan pengetahuan, tetapi hanya penumbra dari pengetahuan yang tentunya tidak akan mengantarkan pada realisasi kebenaran sejati

Bagaimana membedakan yang kekal dari yang tidak kekal? Yang nyata dari yang tak nyata? Orang bijaksanapun bingung untuk menjelaskannya. Semua alam semesta yang terbentang luas, yang kita persepsi merupakan rangkaian warna warni yang menakjubkan! Apakah semua itu? Siapakah keberadaan kekal yang merupakan sumber semuanya? Renungan seperti ini pasti sering menghantui pikiran seorang pencari kebenaran.

Dari keinginan untuk mengetahui, lalu manusia mencari dan mencari, hasil dari pencarian dan penelitian di dalam pikirannya itu disebut sebagai pengetahuan. Sehingga apakah pengetahuan itu? Apakah semua pengetahuan yang kita pelajari adalah pengetahuan yang sebenarnya? Yang akan mengantarkan kita pada kebenaran? Untuk mengentahui hal ini maka yang perlu diteliti terlebih dahulu adalah bagaimanakah pengetahuan itu didapat dan bagaimana pula proses mengetahui itu dilakukan? Disini akan kita lihat bahwa semua bentuk pengetahuan yang selama ini kita anggap sebagai pengetahuan hanya kumpulan ide-ide berdasarkan persepsi kita melalui indriya dalam lautan tanmatra. Pertanyaan segera menyusul, apakah indriya dan apakah tan matra? Berarti masih ada Yang-Di-Atas-Nya yaitu dari mana tan matra itu berasal, dan bagaimana indriya itu dapat berfungsi? Ketika pencarian ini diteruskan sampai titik akhir, dan tidak ada lagi yang Di-Atas-Itu maka dapatlah dikatakan kita telah mencapai pengetahuan yang sebenarnya. Ini disebut ‘sarat-sarat’(intisari dari esensi pengetahuan) seperti diungkapkan dalam slokha diatas ‘sarasya’ naeva bhodanat.

Sekarang mengapa pengetahuan selain ‘atmajinana’ itu dikatakan sebagai ‘penumbra (avabha’sa’)’ dari pegetahuan yang sejati? Karena obyek pengetahuan itu sendiri adalah ‘penumbra’ dari Keberadaan Yang Kekal. Yang kekal adalah ‘atma’ sedangkan semua yang berwujud dan termanifestasikan adalah ‘penumbra’(avabha’sa’) dari atman. Bagaimana hal ini dapat dimengerti?

Seperti seseorang melihat ular dari seutas tali. Karena tidak tahu bahwa itu seutas tali, akibat ketidaktahuan ini orang merasa takut (pada ular) namun ketika pengetahuan bahwa itu adalah seutas tali, ketakutan pada ular itupun sirna (karena sebenarnya tidak ada ular):

ātmajñānājjagad bhāti ātmajñānānna bhāsate
rajjvajñānādahirbhāti tajjñānād bhāsate na hi Astha Vakra 2-7

catatan: atma ajnana=tanpa pengetahuan tentang atma, bha’ti=nampak; aju ajnana=tanpa pengetahuan tentang tali, ahi;=ular, tad janana bhasate na hi=setelah mengetahui itu, tiada yang nampak

(karena tidak memiliki pengetahuan tenang atma, dunia ini kelihatan demikian, tetapi dengan pengetahuan tentang atma dunia ini tiada nampak, seperti halnya pengetahuan tentang seutas tali, menyebabkan kekeliruan terhadap ular menjadi sirna)

Atau dapat dianalisa dari contoh lain; seperti riak dan gelembung dalam air, entitas yang ada hanya air, tetapi akibat gerakannya (seperti air pancuran) muncullah riak dan gelembung air. Demikian pula yang ada sebenarnaya hanya atma, tetapi akibat pengaruh Maya, dunia ini menjadi nampak!

Atau contoh lainnya:

aho vikalpitaṁ viśvamajñānānmayi bhāsate
rūpyaṁ śuktau phaṇī rajjau vāri sūryakare yathā Astha Vakra 2-9

catatan: rupyam=perak, suktau=dalam kerang (mother pearl), phani=ular, rajjau=tali, vari=air , suryakare= silau cahaya (effect fatamorgana)

jagat raya ini nampak dalam diriku, karena ketidaktahuan akan atman, seperti melihat perak dari kerang, ular dari seutas tali atau air dalam silau matahari.

Demikianlah sifat dunia ini, datang dan pergi muncul dan tenggelam seperti gelembung muncul dari air dan larut ke dalam air. Dengan analisa demikian melihat dunia ini sebagai refleksi dari atman mengetahui hanya atman sebagai kebenaran tunggal.

Sekarang dari sisi tersebut mengertilah kita tentang hakekat dunia ini sebagai maya atau ilusi dari kesadaran kekal atman. Namun kalau analisa kita teruskan akan kita temukan lagi sbb:

yathā na toyato bhinnāstaraṁgāḥ phenabudbudāḥ
ātmano na tathā bhinnaṁ viśvamātmavinirgatam 2-4

seperti halnya riak, buih dan gelembung dalam air tiada berbeda dengan air, demikian pula jagat ini berasal dari atma tidak berbeda dengan atman.

Catatan: Toyatah=dalam air, taranga=riak, phena budbudah=buih dan gelembung air, visva=jagat, atmavinirgata=lahir dari atman

tantumātro bhaved eva paṭo yadvad vicāritaḥ
ātmatanmātramevedaṁ tadvad viśvaṁ vicāritam 2-5

seperti halnya kain kalau dianalisa hanya terdiri dari benang saja, demikian juga jagat ini kalau dianalisa hanya terdiri dari atman.

catatan: tantumatro=dari benang, vicaritah=analisa, pat’ah=kain

yathaivekśurase klṛptā tena vyāptaiva śarkarā
tathā viśvaṁ mayi klṛptaṁ mayā vyāptaṁ nirantaram 2-6

seperti halnya gula terbuat dari sari tebu hanya mengandung zat tebu, demikian pula jagat ini terbentuk dari Aku diresapi hanya oleh Aku

catatan: iksurase=dari sari tebu, vyapta=diresapi, sarkara=gula

Disinilah yang saya katakan sebagai kontradiksi dan menjelaskan ‘advaita’, di satu sisi kita menganggap dunia ini sebagai Maya yang tidak real, namun setelah mengetahui yang Real, ternyata dunia ini juga tidak berbeda dengan yang real.
Disini dualisme berakhir, disini orang mencapai kesadaran advaeta!

Sehingga avadhuta menyanyikan:

Slokha: I - 4
Atmaeva kevalam sarvam bhedha’bhedo na vidyate
Astina’sti katham bruya’m vismayah prathibhati me

Segala yang ada sesungguhnya adalah Atma, perbedaan dalam keanekaragaman itu tidaklah ada. Bagaimana kita bisa mengatakan ada dan tidak ada bila hanya ada satu entitas keberadaan?

Slokha: I - 23
ana’tmaru’pam ca katham sama’dhih
a’tmasvaru’pam ca katham sama’dhih
astiiti na’stiiti katham samaadhih
moks’asvaru’pam yadi sarvamekam

Dengan melihat sesuatu sebagai non-atma, bagaimana bisa samadhi? Dan apabila melihat diri sendiri sebagai atman, bagaimana ada samadhi? Bila ada perbedaan antara ada dan tiada, bagaimana mungkin samadhi? Orang mencapai moks’a apabila melihat segalanya sebagai hal yang SATU.

Komentar:
Apabila masih ada perbedaan antara obyek dan subyek, yang dilihat dan yang melihat maka keadaan tersebut masih jauh dari samadhi. Samadhi = sama + adhi. Suatu keadaan melihat semua dalam kesatuan/persamaan.

Slokha: 6

Idam' tiirtham idam' tiirtham'
Bhramanti ta'masa'h jana'h;
Atmatiirtham' na ja'nanti
Katham' moks'a vara'nane.

orang orang tanpa pengetahuan pergi berziarah dari satu tempat suci(tiirtha) ke tempat suci lainnya, tanpa mengetahui tempat yang paling suci berada dalam diri mereka, bagaimana mereka dapat mencapai moks’a?

Petikan slokha ini adalah dari percakapan Paravati dengan Sada Shiva. Parvati bertanya kepada Shiva dimanakah tempat “tiirtha” yang terbaik? Karena banyak orang pada umumnya melakukan ‘tirrtha yatra’ berziarah mengunjungi tempat tempat suci, untuk mencari kebenaran, untuk mencapai tujuan spiritual. Dari sekian banyak tempat suci yang ada, yang manakah ‘tiirtha’ yang terbaik untuk beryatra? Demikian pertanyaan yang diajukan Parvati kepada Shiva untuk mendapatkan jawaban dari-Nya sehingga bermanfaat bagi orang yang ingin mencari kebenaran.

Dijawab oleh Shiva seperti diungkapkan dalam slokha diatas, “disini ada tiirtha, disana ada tiirtha, orang yang tanpa pengetahuan berziarah kesana kemari, tanpa mengetahui tiirtha yang berada dalam diri mereka, bagaimana biss mencapai moks’a?

Disini dengan sangat jelas disebutkan bahwa untuk mencapai kebebasan, untuk mencapai moks’a maka hanya satu tiirtha yang setiap orang harus ketahui dan kunjungi yaitu atma tiirtha. Inilah tiirtha yang terbaik. Disinilah Shiva kesadaran Agung berstana. Tidak ditempat lain!

Seperti disebutkan selanjutnya:

Atmasthitam' Shivam' tyaktva'
Vahistham' yah samarcayet;
Hastastham' pin'd'amutsrjya
Bhramate jiivita'shaya'.

Mengabaikan Shiva berstana di dalam diri mereka, orang tanpa pengetahuan memuja Shiva di dunia luar, ibarat orang membuang makanan yang sudah ditangan dan kesana kemari menjadi peminta minta!

Ketahuilah Shiva berstana di dalam diri masing masing. Atmajinana merupakan pengetahuan satu satunya yang membawa kebebasan, orang tidak perlu mencari pengetahuan itu keluar, masuklah ke dalam diri? Proses masuk ke dalam inilah sadhana!

Slokha diatas kalau dibuat analogi lebih jelas, seperti seseorang yang memiliki simpanan harta brlimpah di dalam lemari rumahnya. Namun dia tidak pernah memasuki kamar dimana lemari itu berada dengan segala harta yang ada di dalamnya. Sehingga dalam hidupnya miskinlah dia dan menjadi peminta minta. Orang ini perlu diberitahu untuk menemukan di dalam rumahnya sendiri harta tersebut lalu menengok ke dalam kamar dimana lemari itu berada dan membuka isinya. Seketika itu juga dia menjadi kaya tanpa harus meminta kesana kemari!

Demikianlah atmajinana itu ada di dalam diri, hanya kita tidak pernah mau mencari kedalam karena kita terbiasa hidup dengan indriya, kita hanya mengenal apa yang dapat dipersepsi melalui indriya saja. Kita hanya bisa merasakan kebenaran yang dapat dirasakan oleh indriya. Sejak kecil kita hanya mengenal dunia ini melalui indriya. Dan keadaan ini diibaratkan dalam sebuah cerita sbb:

Ada seorang ibu menjelang petang hari mencari sesuatu dihalaman rumahnya yang cukup mendapat cahaya bulan. Ketika ditanya apa yang dicarinya dia menjawab dia telah kehilangan sebiji jarum yang dipakainya menjahit baju yang koyak. Ditanya, dimana jarumnya jatuh? Dijawab, di dalam rumah! Lalu ditanya mengapa tidak mencarinya di dalam? Dijawab lai karena di dalam rumah tidak ada lampu gelap, jadi tidak dapat melihat. Diluar sedikit terang.

Orang yang mencari atma, di luar ibarat ibu yang kehilangan jarum itu. Dia tidak akan pernah menemukannya diluar rumah, karena jarum itu jatuh di dalam rumah, dan untuk mencari di dalam rumah yang gelap, sangat sulit, bawalah cahaya masuk ke dalam rumah, dan lho! Jarum itu masih tetap disana dimana dia jatuh!

Demikian juga untuk masuk ke dalam diri memerlukan seseorang yang bisa memberi penerangan, bawalah cahaya pengetahuan untuk menerangi diri di dalam dan disana ditemukan atmajinana itu!

Proses mendapatkan cahaya untuk masuk ke dalam diri ini disebut Diiks’a


Slokha: 7

Na muktirtapana'dhoma'dupava'sashataerapi;
Brahmaeva'hamiti jina'tva' mukto bhavati dehabhrt.

Liberation is not attainable by penance, sacrificial
rituals and hundreds of fasts. Living beings attain liberation when they realize, "I am Brahma."

Dalam baris pertama ada beberapa kata : mukti =
kebebasan, tapana = dengan cara bertapa,
homa=melakukan upacara homa/korban api suci,
upavasa=berpuasa, shata=seratus jumlahnya …

Dalam baris kedua: brahma eva aham = aku adalah brahma, ity=itu, jinatva=kesadaran/realisasi, mukto=kebebasan, bhavati=adalah, dehabhrt=mahluk unit.

(kebebasan tidak dapat dicapai dengan melakukan ratusan tapa, puasa, korban suci homa, Mukti ini hanya dicapai apabila orang menyadari realisasi aku adalah brahma).

Menurut pengertian saya dari slokha ini, Shiva ingin mengatakan bahwa satu satunya, jalan yang membuat orang mencapai mukti adalah realisasi “aku adalah brahma” dan tidak ada sebab lain yang menunjukkan seseorang mencapai mukti. Semua bentuk tapa, puasa,disiplin, pemujaan dsb, hanya merupakan kulit saja dalam pencapaian kebebasan. Yang berarti dengan melakaukan tapa, puasa dll, orang tidak akan mendapat manfaat kebebasan apabila dalam diri orang itu tidak ada benih kesadaran “aku adalah brahma”. Dalam point
ini tentu kita harus mengerti dengan baik bahwa yang ditekankan adalah “aham brahma asmi” dan semua bentuk tapa, puasa, disiplin dan sebagainya, memiliki tempat tersendiri dalam kaitan kehidupan spiritual seseorang, yaitu sebagai landasan dasar dan moral dalam kehidupan spiritual.

Yang berarti tanpa adanya landasan moral dan disiplin, pengertian “aham brahma asmi” akan menjadi semakin jauh dari jangkauan spirit seseorang. Dan bagaimanakah aham brahma asmi ini? Ini adalah jinana bukan vidya.
Yaitu merupakan realisasi, bukan pengetahuan yang bisa didapat dari membaca atau mendengar. Karena itulah disebut Brahma jinana. Bukan brahma vidya. Inilah perbedaan antara vidya dan jinana.

Slokha: 8

Na muktih sha'stravya'khya'ne na muktirvidhipu'jane; Kevalam' Brahmanis't'ho yah sah mukto na'tra sam'shayah

Salvation cannot be attained merely by interpreting the scriptures, nor by worshipping deities according to specific scriptural injunctions; One can attain salvation only by surrendering oneself to Brahma -- there is no doubt about it.

Shastra vyakhyane = membaca dan mengintepretasikan kitab suci, vidhi pujane = memuja symbol symbol kedewataan, natra = tanpa, samsayah = keraguan

Dalam slokha ini juga memiliki konotasi penjelasan yang senada dengan yang sebelumnya. Kebebasan itu tidak dapat dicapai dengan membaca kitab suci serta mengintepretasikannya, pun tidak dapat dicapai dengan memuja patung atau simbul simbul kedewataan. Hanya kepasrahan total kepada Brahma yang dapat membuat orang bebas dan ini tidak dapat diragukan lagi. Yang paling pokok disini untuk dimengerti adalah “brahmanistho” kata nistha berarti ketulusan, kesungguhan dan keyakinan yang bulat. Menggambarkan garis lurus dalam gelombang pikiran. Kesatuam dalam inner dan outer expression (sincerity). Disebutkan hanya apabila seseorang memiliki rasa nistha kepada brahma, dengan demikian dia mencapai kebebasan mukti. Sedikit saja ada keraguan, kata nistha ini tidak memenuhi syarat. Disinipun mengandung makna yang sangat dalam, bahwa keyakinan pada Brahma itu haruslah sedemikian rupa dimana di dalam pikiran orang yang bersangkutan tidak ada sedikitpun komplikasi akan kebenaran Brahma yang merupakan perwujudan Satya.

Slokha: 9
Uttamo Brahmasadbha'vo madhyama' dhya'nadha'ran'a';
Japastutih sya'dhadhama' múrtipúja'dhama'dhama'

Setiap ciptaan di dunia ini terikat oleh pengaruh triguna. Dan guna ini berbeda beda untuk setiap insane sesuai dengan samskara masing masing. Demikian juga dalam kehidupan spiritual praktis, sadhaka memiliki tingkatan realisasi dengan Tuhan berbeda beda menurut samskara masing masing. Di dalam slokha di atas disebutkan bahwa bentuk realisasi yang terbaik adalah “Brahma sadbhava” realisasi ini adalah yang paling utama (uttama). Untuk mengerti makna ‘sadbhava’
pertama kita harus mengerti dulu apa yang dimaksud ‘bhava’ atau ideasi. Bhava atau ideasi dapat diilustrasikan sebagai bentuk aliran pikiran dimana piiran itu berasosiasi sepenuhnya dengan obyek yang dipikirkan. Seolah olah pikiran itu menjadi obyek yang dipikirkan. Misalnya, seseorang memikirkan buah mangga, apabila orang tadi mengambil bhava dari buah mangga yang dipikirkannya, seakan akan pikirannya sendiri telah berubah menjadi mangga. Dan pikirannya sepenuhnya mengambil bentuk mangga. Ini semua terjadi dalam level psikik, bukan fisik. Mangga itu tidak
pernah ada, tetapi pikiran itu seakan akan telah menjadi mangga. Inilah yang saya fahami tentang bhava. Sadbhava, dengan demikian dapat diartikan apabila pikiran itu mengambil ideasi pada obyeknya secara ‘continue’ atau mengalir (seperti aliran minyak) dalam ideasi yang sama. Proses ideasi begini disebut sadbhava. Tentunya obyek yang terbatas tidak dapat dijadikan obyek saadbhava, karena sifat obyek itu sendiri jauh dari sifat ‘continue’ ini. Apapun yang ada di dalam dunia fisik selalu berada dalam
keterbatasan waktu, tempat dan pribadi. Dimana ide tentang sadbhava itu muncul, maka disana pula ad aide tentang suatu entitas yang bebas dari ikatan waktu, tempat dan pribadi. Dan entitas ini adalah Bahma.
Dialah Anandam. Dari uraian diatas, maka brahma dan sadbhava tidak dapat dipisahkan. Dimana ada sadbhava disana ada brahma, dan dimana ada ideasi tentang brahma disana ula ada sadbhava.

Yang berikutnya, tang merupakan tingkat menengah adalah Dhyana dan Dharana. Pikiran manusia terus sibuk dalam aktivitas berpikir. Sesuai dengan tingkat kehalusan obyek yang dipikirkannya aliran pikirannyapun menjadi halus seperti itu. Apabila orang selalu memikirkan uang atau benda materi (yang sifatnya kasar) maka pikirannya juga menjadi kasar.
Apabila orang sibuk dalam aktivitas menyakiti, menipu, berbihing dll, aktivitas demikian adalah kasar, maka pikiran orang itupun menjadi kasar. Nah dhyana juga merupakan salah satu bentuk dari proses berpikir tersebut. Dimana kita memilih obyek yang paling halus dan menjadikannya sebagai obyek yang dipikirkan.
Dalam dhyana kita masih melibatkan pikiran sadar. Berbeda dengan bhava yang hanya melibatkan ideasi. Bisa dibedakan antara ideasi dengan berpikir? Dengan memilih obyek yang paling halus sebagai obyek yang dipikirkan, proses ini disebut dhyana dan apabila pikiran itu larut didalamnya disebut bhava. Dalam proses Dhyana kita menggunakan Guru sebagai obyek (sehingga disebut Guru Dhyana) di mana Guru tidak lain adalah Brahma, sehingga apabila pikiran itu karut di dalam-NYA menjadi Brahma Bhava. Dharana adalah bentuk dinamik dari dhyana. Apabila memikirkan obyek yang
lpaling halus itu dilakukan pada titik konsentrasi tertentu dan fix (tetap) disebut dhyana. Tetapi apabila dilakukan dari satu titik ke titik lain disebut dharana.

Tingkat yang ketiga adalah Japa dan Stuti, Pikiran adalah alat utama yang kita gunakan untuk melakukan meditasi. Meditasi berarti memusatkan pikiran. Salah satu bentuk memusatkan pikiran adalah dengan terus menerus mengulangi ide yang sama. Pengulangan ini bias dilakukan dengan bantuan indriya (misalnya: alat suara) bias juga tanpa bantuan indriya. Apabila tanpa bantuan indriya berarti kita hanya mengulangi ide tersebut dalam hati. Namun ide inipun harus mengambil suatu bentuk yang bias diterima oleh pikiran. Dalam hal ini dipakailah mantra. Cara seperti ini disebut Japa. Dalam bhava, tidak merupakan keharusan ide itu dalam bentuk mantra. Tetapi yang jelas didalam mantra
terdapat ide. Dalam bhava atau dhyana, pikiran itu hanya mengambil ide itu. Mantra bukan suatu keharusan. Dalam dharana mantra itu masih diperlukan. Tetapi dibarengi dengan teknik tertentu. Dalam japa, walau hanya dengan mengulang ulang mantra, ini sangat membantu pikiran untuk konsentrasi. Apalagi dibarengi dengan bantuan indriya. Seperti kita melakukan Kiirtan. Stuti adalah bentuk menyanyikan lagu lagu suci atau bhajan. Inipun dapat membantu pikiran untuk konsentrasi untuk tahap awal. Mendengarkan atau menyanyikan lagu lagu spiritual membantu pikiran untuk kembali ingat pada-NYA dan mengurangi keterikatan terhadap hal hal duniawi.

Dan yang terakhir adalah Murti Puja yaitu do'a -do’a dengan berbagai permohonan. Disini tidak ada unsure konsentrasi, atau mengarahkan pikiran ke kesadaran yang lebih halus. Banyak orang berdo’a mohon agar lulus ujian, agar menjadi kaya, atau bahkan mengharapkan Tuhan untuk menghancurkan musuhnya dsb. Ini tidak akanmembantu orang dalam mencapai realisasi spiritual. Iniadalah bentuk yang paling rendah dari semuanya.

Slokha: 10
A'tmajina'namidam' Devi param' moks'aekasa'dhanam; Sukrtaerma'navo bhu'tva' jina'niicenmoks'ama'pnuya't (Shivopadesha)

O dewi, satu satunya yang membuat seseorang mencapai kebebasan kekal atau moks’a adalah tercapainya pengetahuan diri sejati atau atma jinana, sebagai akibat karma baik di masa lalu seseorang dapat terlahir sebagai manusia, namun untuk mencapai moks’a mereka harus memiliki pengetahuan diri sejati

Disini kembali Shiva menekanan bahwa atmajinana adalah satu satunya pengetahuan yang membawa seseorang pada kebebasan. Dan pegetahuan atmajinana ini harus dicapai melalui proses sadhana. Tersirat pula pula dalam slokha di atas persyaratan untuk melakukan sadhana adalah setelah seseorang dilahir sebagai manusia. Karena hanya pada tingkat manusialah kesadaran itu cukup berkembang, didukung oleh kesempurnaan system biologis tubuh fisik mereka yang mendukung proses sadhana.

Manusia memiliki tubuh yang lebih kompleks dibandingkan dengan mahluk lain. Sistem tubuh dengan berbagai kelenjar, system lhympatik, hormon dsb memungkinkan manusia untuk melakukan sadhana. Secara bio-psikologis proses sadhana sangat erat kaitannya dengan perkembangan kelenjar dan hormon dalam tubuh manusia. Ini merupakan topik tersendiri dalam bio-psychology.

Manusia memiliki pikiran yang independen dibandingkan dengan mahluk lain. Pikiran manusia sudah mencapai taraf perkembangan yang cukup tinggi dimana dia sudah menyadari “aku ada” dan “siapa aku” dan memiliki kebebasan berpikir untuk bertindak dan menjadikan dirinya. Hewan tidak bisa berpikir melampaui batas instink mereka: makan, tidur, rasa takut dan meneruskan keturunan. Kehidupan hewan hanya berada dalam lingkaran instink tersebut. Mereka tidak bisa melampaui hal itu. Demikian juga hewan tidak memiliki kesadaran akan diri mereka! Seekor anjing tidak pernah merasa mereka itu anjing, kambing juga sama. Hewan tidak pernah mengerti perbedaan mahluk satu dengan yang lainnya termasuk dirinya sendiri. Hewan pun tidak pernah bisa memiliki kebebasan keinginan untuk menjadikan dirinya seperti apa. Seekor anjing tidak pernah berpikir, saya harus menjadi anjing yang cerdas, paling perkasa dan jago diantara anjing yang lain.

Kehidupan hewan hanya terbatas pada instink dan mengikuti hukum alam. Mereka tidak emmiliki free-will.

Disinilah jelaslah kelebihan manusia dan mengapa hanya manusia yang bisa melakukan sadhana. Perlu digarisbawahi, hanya manusialah yang memiliki kemampuan untuk melakukan sadhana, berarti sekarang tergantung pada masing masing individu dengan menggunakan free-will tersebut apakah menempuh jalan sadhana atau tidak. Disinilah juga kelemahannya, apabila manusia menyalahgunakan kesempatan yang diberikan, hidup hanya untuk mengikuti nafsu dari instink(makan, tidur, rasa takut dan meneruskan keturunan) tanpa memikirkan aspek sadhana dan dhrama malah manusia itu kadang berbuat lebih buruk dari hewan. Manusia demikian derajatnya lebih rendah dari hewan. Dalam hal makan hewan tidak pernah mengambil melebihi kebutuhannya, mereka tidak memikirkan makanan untuk hari esok. Tetapi manusia bias menjadi lebih rakus dari hewan. Hewan dalam mempertahankan dirinya mungkin terlibat peperangan dengan hewan lainnya, namun mereka tidak pernah melakukannya atas dasar benci atau demdam dsb sebagainya. Tetapi manusia bisa lebih jahat daripada itu!

Berkaitan dengan ini disebutkan dalam shastra:

A'ha'ra-nidra'-bhaya-maethunainca
Sa'ma'nyametad pashubhirnara'na'm;
Dharmo hi tes'a'm adhiko vishes'ah
Dharmena hiina'h pashubhih sama'na'h.

Dalam hal makan, tidur, rasa takut dan keinginan untuk berprokreasi tiada perbedaan antara mausia dengan hewan, hanya kemampuan manusia untuk menempuh jalan dharma merupakan kelebihan manusia dari hewan, dimana tanpa adanya pelaksanaan dharma manusia itu sama saja dengan hewan layaknya

Dan memang bias kita lihat secara nyata, tiada perbedaan antara manusia dengan hewan dalam hal makan, tidur, takut dan prokresai. Malah sering kita temukan mausia lebih buruk dari pada hewan dalam keempat hal instick di atas. Kelebihan manusia adalah diantara sekian mahluk ciptaan hanya mereka yang memiliki kemampuan untuk bertindak menempuh jalan dharma. Hanya mereka yang mendapat kesemoatan untuk mengerti ajaran spiritual kebenaran yang mengantarkan diri mereka kembali kepada Tuhan. Dharma disini berarti bergerak untuk kembali mencapai Paramatman, dharma disini berarti sadhana dalam slokha terdahulu.

Seperti disebutkan:

Brhades'an'a'pran'idha'nam' ca dharmah.

Bergerak dan berlindung pada Yang Agung Tuhan Yang Maha Esa adalah Dharma

Karena itu, kita harus mensyukuri kelahiran sebagai manusia dengan memanfaatkan kesempatan ini untuk menempuh jalan sadhana, melakukan sadhana guna mencapai atmajinana, dengan pencapaian atmajinana inilah seseorang akan mencapai kemanunggalan dengan Paramatma atau disebut moks’a. Sekali lagi pentingnya mengabdikan diri pada pencapaian atma jinana hendaknya jangan sekali sekali dilupakan. Dalam setiap tindakan, dalam setiap kerja kita harus melihat atman dalam semuanya, kita harus merasakan atman dalam semuanya dan tindakan atau kerja kita juga adalah bagian dari-Nya bebaskan dari dari pengaruh ikatannya.


Sarvaru'pamayii devii sarvam' devii mayam'jagat,
Tato'ham vishvaru'pa m' ta' m' nam'mi Parameshvariim.
(Ma'rkan'deya Pura'n'a)

Varn' a'shrama'bhima'nena shrutida'sye bhavennarah
Varn' a'shramvihiinashca vartate shrutimu'dran'i.
Daevihyes'a gun'amayii mama ma'ya' du'ratyaya'.
Ma'meva ye prapadyante ma'ya'meta'm' taranti te.

Tvam' Vaesn'avii shaktiranataviiroya'
Vishvasya bijam parama'si ma'ya'
Sammohitam' devii samstametad
Tvam vae prasanna' bhu'vi muktihetuh.

"O Prakrti, thou art never-ending. Vis'numa'ya', thou art the seed of the universe, thou art the cause of the universe, thou art the supreme ma'ya' and the supreme cosmic force, thou hast hypnotised the creation and kept it under the clutches of the pa'shas and ripu's. The gate of emancipation opens only when thou art merciful."

A'tmasthitam Shivam' tyaktva' vahistham' yah samarcayet
Hastastham' pin'd'am'usrjya bhramate jiivte'shaya'.

* * * *

Idam' tiirthamidam' tiirtham' bhramanti ta'masa' jana'h
A'tmatiirtham' na ja'nanti katham' moks'o bara'n'ane.

Vya'sdeva, the author of Pura'na's has written:
Ra'pam ru'pavivarjiitasya bhavato yadhya'nena kalpitam'
Stutya'nirvacaniiyata'khiloguro du'riikrta' yammaya'.
Vya'piitvam ca nira'krtam' bhagavato yat
tiirthaya'tra'dina'
Ks'antavyam jagadiisha tadvikalata'dosatrayam'matkrtam'.

"Thou hast no form. I have attempted to reduce Thee by giving Thee a form. By propagating the importance of holy lands, I tried to limit Thy all-pervasiveness. Through prayers I have tried to limit in words Thy incomprehensiveness. O Lord, may you pardon these three lapses of mine cause by mental disquietitude."


Pran'avo dhanuh sharohya'tma'
Brahma tallaks'yamucyate
Aprama ttena veddhavyam'
Sharavattanmayo bhavet.

This onm'ka'ra is the seed of all the alphabets, and is the proclaimant and identifier of Brahma. For this reason, this is also called Shabda-Brahma. The Shruti says,

Sarve veda' yadpadama' mananti
Tapa'm'si sarva'n'i ca yadvadanti
Yadicchanto brahmacaram' caranti
Tattepadam' sam'grahena vraviimyomityeta (Yajuh).

* * * *

Etaddhyeva'ks'aram' Brahma
Etadeva'ks'aram param'
Etadeva'ks'aram jina'tva' yo
Yadicchati tasya tat.

* * *

Etada'lambanam' Shree't'hametada'lambanam' param
Etada'lambanam' jinatva' Brahmaloke mahiiyate.

Does not the oil-mill bullock move on? It keeps going around in circles all the day. But though it may walk more than fifty miles, it does not advance in the least, since it is tied to the pillar of the oil-expressor. Likewise, those working with the Unit `I' as their object are similar to the bullock of the oil-expelling machine.

"Ya'vanna ks'iiyate karma shubham'ca'shubhameva ca
ta'vanna ja'yate moks'o nrn'a'm' kalpashataerapi
Yatha' laohamayaeh pa'shaeh pa'shaeh svarn'anmayaerapi
tatha' baddho bhavejjiivo karma'bhishca'shubhaeshubhaeh
(Tantra)

In other words, until the actions, whether good or bad are annihilated, human beings cannot attain salvation or Moks'a. Can the gold chain be looser and less torturing than the iron chain to someone in bondage? Similarly, the bondage of bad actions is exactly as tight as the bondage of good actions.

"Na'bhuktam' ks'iiyate karma kalpakot'ishataerapi
Avashyameva bhoktavyam' krtam' karma shubha'shubham"

Therefore, for salvation or emancipation, it is necessary to be liberated from the bondage of Sam'ska'ras. The question is, how to attain salvation? When it is essential to act for maintaining one's existence, how is it possible to avoid the cycle of action and reaction?

A'tmajina'nam' vidurjina'nam' Jina'na'nyanya'ni ya'ni tu
Tani jina'na' vabha'sa'ni sa'rasya naeva bodhana't.
A'tmajina'nam'idam' devi param' moks'aekasa'dhanam
Sukrtaerma'navo bhu'tva' jina'niicenmoks'ama'p'nuya't
(Tantra)

"Uttamo Brahmasadbha'vo madhyama' dhya'nadha'ran'a'
Japastutisya'dadhama' mu'rtipu'ja'dhama'dhama"
Tantra)

Idam'man'usam' sarves'a'm'bhu'ta'na'm' madhvasya
ma'n'us'asya sarva'vi bhu'ta'ni madhuh
Ayama'tma' sarvesa'm' bhu'tana'm' madvasya
a'tmanah sarva'ni bhu'ta'ni madhuh
(On the occasion of the inauguration of the Monghyr Jagrti)

A'ha'rnidra'bhayamaethunainca
Sa'ma'yametad pashubhirnara'n'a'm
Dharma hi tes'a'madhiko vishes'o
Dharmenahiina'h pashubhih sama'na'h.

Vista'ra sarvabhu'tasya vis'n'orvishvamidam' jagat
Dras't'avyama'tmavat' tasma'dabhedena Vicaks'anah
(Vis'n'upura'n'a)

The world is a changing phenomenon. Therefore, it is unwise to be attached to any object in this ever-changing world. The name and form of objects undergo changes with the change in time and place. The child changes into a youth, the youth into an old person, and the old person into a dead person. Wise people take every object of the world as the expression of one and single Vis'n'u and are not be affected by pain or pleasure when they witness changes in the name and form of any particular object. Vis'n'u to them remains Vis'n'u and they lose nothing.


Kaoma'ra a'caret pra'jino dharma'n bha'gavata'niha.
Durlabham' ma'nus'am' janma tadapyadhruvamarthadam.

The wise practise Dharma Sa'dhana' right from infancy because a human life is rare and rarer still is the human life perfected through Sa'dhana'.

Ratna'karastava grham' grhinii ca padma'
Deyam' kimapi bhavate purus'ottama'ya
A'bhiirava'manayana pahrta'ma'sa'ya
Dattam' manah yadupate tvamidam' grha'na.

Oh, Lord, the Universe is Your abode, the Supreme Prakrti herself is Your consort. You have everything. Then, O Purus'ottama, what will I offer to You? O yes, I remember one thing. Your true devotees have stolen away Your mind. That is why You have need of one thing. Your mind is lost O Lord, and I offer my mind to You. Do grace me by Your acceptance.

It is said in the Kathopanisada.

Na'virato dushcarita'nna'sha'nto na'sama'hitah
Na'sha'ntama'naso va'pi prajina'nenaenama'pnuya't.

That is, so long as human beings fail to tranquilize their mind by detaching themselves from their desired acts, and thereby purifying their inner self, till then, regardless of how much they may study, they cannot attain Brahma.

"Mana eva manus'ya'na'm' ka'ran'am' bandhamoks'ayoh"

(Mind alone is the cause for the bondage or emancipation of human beings).

Pu'rn'amadah pu'rn'amidam' pu'rna'd pu'rn'amudacyate
Pu'rn'asya pu'rn'ama'da'ya pu'rn'ameva'vashisyate.

Tvameva ma'ta' ca pita' tvameva
Tvameva bandhu ca'sakha' tvameva
Tvameva vidya' dravin'am' tvameva
Tvameva sarvam' mama devadeva.